Perjalanan yang belum selesai (198)
(Bagian ke seratus sembilan puluh delapan , Depok, Jawa
Barat, Indonesia, 1 Februari 2015, 22.05 WIB)
Mengapa kita saling bunuh, dan berperang
Sejarah pembunuhan dan peperangan seperti yang tersirat
di dalam Al Quran, maupun kitab suci agama sebelum Islam , seperti Injil
(Nasrani/Kristen) dan sumber sejarah lain menunjukkan konflik ini pertama kali
terjadi pada anak manusia (khalifah) Allah di bumi terjadu pertama kali pada anak
Nabi Adam, yaitu antara Habil dan Kabil.
Terjadinya pembunuhan (penumpahan darah ini) diikuti
sejarah manusia berikutnya ribuan tahun kemudian, seperti pembunuhan yang
dilakukan tentara Raja Namrud, Firaun terhadap para pengikut Nabi Musa (Yahudi).
Peperangan memperebutkan wilayah antar Kerajaan di Cina,
India, Eropa, Amerika Latin, di Indonesia, kini di dalam era modern masih
terjadi ambisi perluasan tertorial seperti yang dilakukan tiga serangkai
pemimpin Negara, Hitler (Jerman), Mussolini (italia) dan Hirohito (Jepang),
ketiga pemimpin ini ingin menguasai dunia, melalui ekspansi Jerman ke Polandia,
Hongaria sampai Rusia, juga Italia yang ekspansi sampai ke Ethiopia dan Negara
Afrika lainnya, sedangkan Jepang sempat ekspansi ke Korea, Cina, dan Indonesia,
sebelum akhirnya ekspansi ketiga negara ini mampu dibendung Amerika Serikat dan
sekutunya, dan puncaknya di bom atomnya kota Nagasaki dan Hiroshima.
Perang Dunia I dan II yang mengorbankan jutaan tentara
dan penduduk sipil rupanya tidak menghentikan konflik dan peperangan antar
bangsa dan Negara.
Karena perbedaan Ideologi Amerika Serikat mengirim jutaan
tentaranya membela Vietnam Selatan untuk membendung ekspansi komunis dari
utara, begitu juga dalam perang Korea , Amerika Serikat mengirim tentara
membantu Korea Selatan yang berperang melawan Korea Utara yang komunis yang
dibantu Cina dan Uni Soviet.
Begitu juga dalam perang di Afganistan antara Mujahidin melawan
tentara pendudukan komunis Uni Soviet. Amerika Serikat mengirim persenjataan
canggih (seperti Stinger) melalui CIA, agar Mujahidin mampu melawan tentara
Komunis.
Konflik berdasarkan pemahaman agama (Mashab) kini juga
terjadi di Timur Tengah, antara Shiah dan Sunni (salafi) di Yaman, dimana Shiah
berhasil menduduki Istana dan ingin berkuasa di Yaman. Peralihan kekuasaan dari
Sunni (Saddam Husein) ke Syiah) kini juga terjadi di Irak, karena Presiden dan
Perdana Menteri Irak kini dikuasai Syiah (Presiden maliki).
Kini konflik perbedaan mashab Sunni (Salafi) dengan Shiah
juga terjadi di Irak an Suriah, dan semakin gencar sejak Negara Islam Irak dan
Suriah (ISIS) yang menggunakan system kekhalifahan Islam di deklarasikan dengan
Ibu kotanya Raqqah (atau Mosul) bahkan mereka selain punya pemimpin Khalifah,
juga menerbitkan mata uang sendiri Dinar.
Lalu Apa kepentingan Amerika Serikat sampai memimpin 80
negara ingin menghancurkan ISIS. Banyak spekulasi yang mengatakan faktor
ekonomi jauh lebih penting dibandingkan ideology, karena cadangan minyak
terbesar di dunia setelah Arab Saudi ada di Irak. Jadi untuk kepntingan jangka
panjang dan jaminan pasokan minyak mentah dari Timur Tengah (Irak) ke Amerika
Serikat . AS tidak ingin kehilangan pengaruhnya di Timur Tengah.
Sejarah membuktikan kecanggihan persenjataan tidak selalu
menjadi tolok ukur kemenangan suatu peperangan, lihat saja perang Vietnam,
Amerika Serikat telah mengirim jutaan tentara dan ribuan pesawat pembom dan
tank, namun dapat dikalahkan dengan militansi pasukan komunis yang lebih lemah
persenjataannya namun lebih percaya diri dan militan dalam membela negaranya.
Ini juga terjadi di Afghanistan Tentara Uni Soviet yang
jauh lebih banyak dan mmiliki persenjataan canggih dikalahkan Mujahidin, yang
memiliki dua kekuatan, satu perenjataan canggih dari CIA Amerika Serikat, satu
lagi kekuatan ideologis, agama , yang memandang memerangi orang kafir , kalau
mereka diperangi duluan (mempertahan diri dari penjajahan) adalah jihad
Fisabililah yang dijanjikan Allah, kalu bersabar akan masuk Sorga.
Jadi, kedua faktor inilah yang menyebabkan kemenangan
diraih Mujahidin.
Pada waktu perang Irak melawan Iran, perang terjadi
betahun-tahun , tanpa ada satu pihak yang menang seca mutlak.
Mungkin, ini disebabkan karena kedua Negara ini sama-sama
memiliki dua factor kekuatan, selain senjata, jumlah tentara, juga ideology
agama, kedua bangsa sama-sama Islam dan menempatkan Kalimat Allah pada bendera
kedua Negara. Mereka walau berbeda paham (syiah) Iran dan Irak Sunni) namun
sama-sama memiliki Tuhan yang sama, Allah dan Nabi Yang sama Muhammad.
Belakangan kelompok Salafi menuduh Shiah bukan Islam,
karena rukun Islam dan Iman yang berbeda, kalau Sunni (Salafi) dua kalimah
sahadat cukup mengakui Tidak ada Tuan selain Allah yang disembah, dan Nabi
Muhammad utusan Allah, kalau Syiah, konon ditambah selain Nabi Muhammad juga
ditambah 12 Imam Shiah.
Jadi terjadi perbedaan penafsiran soal arti Kitab Suci Al
Qur an dan Hadith Nabi, sehingga terjedi perdebatan yang berkepanjangan antara
para Ulama Sunni dan Ulama Shiah.
Jadi apakah ini yang disebut di dalam Al Quran adanya
peringatan Malaikat pada Allah , bahwa manusia di ciptakan diantaranya untuk
saling membunuh, bahwa Allah menurunkan Al Quran dan Hadist agar manusia tidak
saling bunuh, kecuali peperangan yang dihalalkan seperti perintah Al Quran.
Bila peperangan itu tidak dihalalkan Allah, maka bila
kita tidak diazab dunia, tetapi akan dipertanggung jawabkan di akherat.
Bukankah sudah cukup bagi manusia pedoman hidup yang
benar sudah diberikan Allah, kesuksesan hidup itu bukan kita jadi orang paling
kaya harta di dunia, paling pintar, paling kuat, paling tampan, paling cantik,
namun manusia terbaik menurut Allah adalah yang paling bertakwa, dan kaya hati
(beriman).
Sudah cukup manusia bahwa orang manusia pilihan terbaik
Allah seperti Nabi Muhammad pun akan merasakan mati, orang kuat di dunia Raja
Namrud (Firaun), Aleksander Agung, Ku Bilai Khan, Jeng His Khan, Mao Tse Tung,
Stalin, Hitler, Mussolini, Sukarno, Suharto, Raja Arab Saudi Amdullah sampai
pengusaha Indonesia Bob Sadino, dan Sodono Salim, Presiden Ronald Reagan kini
telah meninggal, kita semua yang masih hidup akan menyusul mereka, jadi selagi
masih hidup kita jangan berbuat zalim apalagi membunuh sesama manusia
(khususnya membunuh sesama Muslim).
Persaudaraan Islam
“Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan
nama-namaNya, kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi.”
(QS. An Nisa: 1)
“Seorang mukmin terhadap mukmin (lainnya) bagaikan satu
bangunan, satu sama lain saling menguatkan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan Islam adalah salah
satu aspek yang vital dan sangat ditekankan di dalam ajaran agama Islam. Begitu
banyak anjuran dan perintah yang menyerukan untuk mengeratkan ikatan
persaudaraan antar sesama umat Islam, dan banyak pula larangan untuk memutuskan
tali persaudaraan di dalam Islam. Semua itu telah disampaikan di dalam ajaran
agama Islam, baik melalui firman Allah swt di dalam Al Quran maupun melalui
sabda Rasulullah saw di dalam Al Hadits.
Rasulullah saw sendiri yang merupakan seorang manusia
pilihan telah menunjukkan bagaimana seharusnya umat Islam senantiasa menjaga
hubungan persaudaraannya. Melalui sabdanya, beliau telah begitu banyak
mengingatkan kepada umatnya untuk senantiasa menjaga keutuhan persaudaraanya di
dalam Islam, karena Islam adalah agama yang mengharamkan umatnya untuk
memutuskan tali persaudaraan atau silaturahmi, terutama dengan saudara yang
berada dalam satu naungan agama Islam.
Dari Abdullah bin Abi Aufa ra. berkata, ketika sore hari
pada hari Arafah, pada waktu kami duduk mengelilingi Rasulullah saw, tiba-tiba
beliau bersabda, “Jika di majelis ini ada orang yang memutuskan silaturahmi,
silahkan berdiri, jangan duduk bersama kami.” Dan ketika itu, diantara yang
hadir hanya ada satu yang berdiri, dan itupun duduk di kejauhan. Kemudian
lelaki itu pergi dalam waktu yang tidak lama, setelah itu ia pun datang dan
duduk kembali.
Kemudian, Rasulullah saw pun bertanya kepadanya,“Karena
diantara yang hadir hanya kamu yang berdiri, dan kemudian kamu datang dan duduk
kembali, apa sesungguhnya yang terjadi? Ia kemudian berkata, “Begitu mendengar
sabda Engkau, saya segera menemui bibi saya yang telah memutuskan silaturahmi
dengan saya. Karena kedatangan saya tersebut, ia berkata, “Untuk apa kamu
datang, tidak seperti biasanya kamu datang kemari.” Lalu saya menyampaikan apa
yang telah Engkau sabdakan. Kemudian ia memintakan ampunan untuk saya, dan saya
meminta ampunan untuknya (setelah kami berdamai, lalu saya datang lagi ke
sini).
Maka Rasulullah saw pun bersabda kepadanya, “Kamu telah
melakukan perbuatan yang baik, duduklah, rahmat Allah tidak akan turun ke atas
suatu kaum jika di dalamnya ada orang yang memutuskan silaturahmi.”
Apa yang telah terjadi dalam riwayat tersebut di atas
tentunya sangat sesuai sekali dengan firman Allah swt berikut:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara,
karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah
supaya kamu mendapat rahmat” (QS. Al Hujuraat: 10)
Mempererat persaudaraan Islam juga merupakan salah satu
bentuk penegakan power Islam dalam kehidupan sehari-hari. Karena umat Islam
yang satu dengan yang lain itu ibarat sebuah bangunan yang saling melengkapi
dan saling menguatkan. Jika ada kekurangan dari saudaranya, maka sudah menjadi
kewajibannyalah untuk senantiasa melengkapi atau menjaganya, bukan justru
membuang atau memutuskannya. Umat muslim yang satu dengan yang lain ibarat satu
tubuh yang jika salah satu anggota badannya mengalami sakit, maka seluruh tubuh
akan merasakannya pula. Di sinilah kekuatan Islam akan terbentuk melalui sebuah
hubungan persaudaraan yang kuat.
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling
mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu
anggotanya merasakan sakit maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga
dan merasakan demam.” (HR. Muslim)
Rasulullah juga pernah bersabda, “Tidak ada satu kebaikan
pun yang pahalanya lebih cepat diperoleh daripada silaturahmi, dan tidak ada
satu dosapun yang adzabnya lebih cepat diperoleh di dunia, disamping akan
diperoleh di akherat, melebihi kezaliman dan memutuskan tali silaturahmi.”
Dalam sebuah riwayat lain, dari Anas ra, ia berkata bahwa Rasullah saw
bersabda, “Barangsiapa yang suka dilapangkan rezekinya dan dilamakan bekas
telapak kakinya (dipanjangkan umurnya), hendaknya ia menyambung tali
silaturahmi. (HR. Mutafaq ‘alaih)
Dalam riwayat lain, Rasulullah saw pernah ditanya oleh
seorang sahabat, “Wahai Rasulullah kabarkanlah kepadaku amal yang dapat
memasukkan aku ke surga”. Rasulullah menjawab; “Engkau menyembah Allah, jangan
menyekutukan-Nya dengan segala sesuatu, engkau dirikan shalat, tunaikan zakat
dan engkau menyambung silaturahmi”. (HR. Bukhari).
Dalil-dalil di atas telah menjelaskan betapa pentingnya
arti dari sebuah persaudaraan Islam. Demikian penting dan vitalnya fungsi
memperkuat persaudaraan Islam, hingga Rasulullah saw pun tidak mau mengakui
orang yang tidak memiliki kepedualian terhadap urusan saudaranya sebagai
umatnya, hal ini sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya yang
artinya:
Dari Hudzaifah Bin Yaman ra. berkata, Rasulullah saw.
bersabda, ”Siapa yang tidak ihtimam (peduli) terhadap urusan umat Islam, maka
bukan termasuk golongan mereka.”. (HR.
At Tabrani)
Setelah kita mengetahui urgensi dari sebuah persaudaraan
di dalam Islam, mulai saat ini marilah kita mulai untuk senantiasa menyambung,
mempererat, dan menjaga ikatan silaturahmi kita di jalan Islam. Banyak hal yang
dapat kita lakukan untuk dalam rangka menyambung, mempererat dan menjaga tali
persaudaraan Islam, di antaranya adalah:
1. Ungkapakan Rasa Cinta Anda
Mengungkapkan rasa cinta yang selama ini dikenal di
kalangan muda-mudi hanyalah sebatas menyatakan rasa cintanya kepada kekasihnya
saja. Namun, Islam yang mengandung ajaran tertinggi memiliki cakupan yang lebih
luas dari sekedar itu. Mengungkapkan rasa cinta ternyata juga sangat dibutuhkan
dalam rangka mempererat persaudaraan dengan sesama umat Islam. Hal ini
sebagaimana telah dianjurkan oleh Rasulullah saw dalam sabda-sabda beliau.
Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang mencintai
saudaranya, hendaklah dia mengatakan cinta kepadanya.” (HR. Abu Dawud dan
Tirmidzi)
Dalam riwayat yang lain, Anas ra. mengatakan bahwa
seseorang berada di sisi Rasulullah saw, lalu salah seorang sahabat
melewatinya. Orang yang berada di sisi Rasulullah saw tersebut mengatakan, “Aku
mencintai dia, ya Rasulullah.” Lalu Rasulullah saw bersabda, “Apakah kamu sudah
memberitahukan dia?” Orang itu menjawab, “Belum.” Kemudian Rasulullah saw
bersabda, “Beritahukan kepadanya.” Lalu orang tersebut memberitahukannya dan
berkata, “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.” Kemudian orang yang
dicintai itu menjawab, “Semoga Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku
karena-Nya.” (HR. Abu Dawud)
2. Tunjukkan Wajah Bahagia
Berjumpa dengan seseorang yang memiliki wajah
berseri-seri tentunya akan menorehkan kenangan tersendiri. Wajah yang dengan
senyum, penuh semangat dan tidak menunjukkan rona sendu akan menimbulkan
kerinduan bagi saudaranya. Bisa saja dengan wajah berseri yang telah kita
tunjukkan itu akan memberikan semangat positif bagi saudara yang kita jumpai.
Dengan demikian, akan timbullah kerinduan untuk selalu ingin bertemu dan
melihat wajah berseri itu.
Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu meremehkan
kebaikan apapun, walaupun sekadar bertemu saudaramu dengan wajah ceria.” (HR.
Muslim)
3. Berjabat Tangan
Berjabat tangan adalah salah satu bentuk sentuhan fisik
yang dapat menyentuh hati kedua pihak yang melakukannnya jika dilakukan dengan
niat tulus dan penuh semangat karena Allah swt. Genggamlah tangan saudaramu
dengan erat dan hangat, hingga semangat dalam jabat tangan itu dapat meresap
dalam sanubari.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada dua orang muslim
yang berjumpa lalu berjabat tangan melainkan keduanya diampuni dosanya sebelum
berpisah.” (HR. Abu Dawud)
4. Saling Berkunjung
Selain dapat mempererat tali persaudaraan di dalam Islam,
saling kunjung-mengunjungi adalah salah satu cara yang akan membawa kita untuk
memperoleh cinta dari Allah swt. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah saw
berikut:
Nabi Muhammad saw bersabda, “Allah swt. berfirman, ‘Pasti
akan mendapat cinta-Ku orang-orang yang mencintai karena Aku, keduanya saling
berkunjung karena Aku, dan saling memberi karena Aku’.” (HR. Imam Malik dalam
Al-Muwaththa’)
5. Memberikan Ucapan Selamat
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa perhatian adalah salah
satu bentuk tindakan yang sangat efektif untuk mempererat sebuah hubungan. Dan
salah satu cara untuk menunjukkan perhatian kepada saudara kita adalah dengan
mengucapkan selamat kepadanya manakala ia mendapatkan sebuah kesuksesan. Persaudaraan
di dalam Islam dapat saja menjadi kendur hanya karena sifat saling acuh dan
tidak peduli satu sama lain.
Dalam hal ini, Rasulullah saw telah bersabda, dari Anas
bin Malik, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa bertemu saudaranya dengan
membawa sesuatu yang dapat menggembirakannya, pasti Allah akan
menggembirakannya pada hari kiamat.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam Shagir)
6. Saling Memberi Hadiah
Hadits marfu’ dari Anas bahwa, “Hendaklah kamu saling
memberi hadiah, karena hadiah itu dapat mewariskan rasa cinta dan menghilangkan
kekotoran hati.” (Thabrani)
Masih dalam hadits marfu’ Thabrani juga telah
meriwayatkan, dari Aisyah ra. bahwa, “Biasakanlah kamu saling memberi hadiah,
niscaya kamu akan saling mencintai.”
Kedua hadits di atas meskipun tergolong dalam hadits
marfu’, namun memiliki makna yang sangat positif dan sangat mendukung
perintah-perintah untuk mempererat persaudaraan di dalam Islam sebagaimana
telah di sampaikan di dalam Al Quran dan Al Hadits.
7. Saling Membantu
Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang melepaskan kesusahan
seorang mukmin di dunia niscaya Allah akan melepaskan kesusahannya di akhirat.
Siapa yang memudahkan orang yang kesusahan, niscaya Allah akan memudahkan
(urusannya) di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutupi (aib) seorang muslim,
niscaya Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat. Dan Allah selalu
menolong hamba-Nya jika hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
Merujuk pada hadits di atas dapat di tarik kesimpulan
bahwa sesungguhnya membantu saudara kita yang tengah mengalami kesulitan atau
musibah, pada dasarnya adalah untuk membantu diri kita sendiri kelak. Karena
barang siapa memudahkan orang lain yang sedang mengalami kesusahan, makan Allah
swt akan memudahkan kesulitannya di akhirat kelak. Barang siapa menutup aib
saudaranya, maka Allah swt lah yang kelak akan menutup aibnya di dunia dan di
akhirat.
Sungguh, mempererat hubungan persaudaraan Islam adaladah
salah satu amal sholeh yang tiada terkira nilainya. Melalui hubungan
persaudaraan Islam yang kuat, berarti kita telah membantu untuk menegakkan
power di dalam tubuh Islam, sebagaimana di ketahui bahwa Rasulullah saw telah
bersabda, “Seorang mukmin terhadap mukmin (lainnya) bagaikan satu bangunan,
satu sama lain saling menguatkan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim). Semakin kuat
hubungan persaudaraan Islam yang kita jalin, maka semakin kokoh pula bangunan
Islam yang akan berdiri.
Dan tentunya, telah kita ketahui melalui dalil-dalil di
atas bahwa begitu banyak imbalan yang akan kita dapatkan sebagai balasan atas
perjuangan kita untuk mengikat Ukhuwah Islamiyah. Semoga kita semua termasuk ke
dalam golongan orang-orang yang senantiasa mendapatkan balasan kebaikan dari
Allah swt karena telah menjaga hubungan persaudaraan di dalam Islam. Amin.
Mengapa Manhaj Salafi Saja
Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Sangat banyak dalil-dalil dari kitabullah dan sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta perkataan para sahabat yang
menjelaskan akan pujian terhadap orang yang mengikuti jalan As-Salaf dan celaan
terhadap orang yang tidak melakukan hal demikian. Dan ini merupakan
perkara-perkara yang menguatkan kewajiban mengikuti manhaj Salaf serta
menegaskan bahwa dia merupakan jalan keselamatan dan kebahagian hidup. Di sini
kami melemparkan beberapa belas anak panah kepada orang yang ragu lagi bimbang
untuk membentangkan jalan kaum mukminin dari pohon keyakinan sehingga memetik
manisnya iman dari atas pohon yang subur dan berteduh dibawah kerindangannya
dalam buaian dan wanginya.
Pertama
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Orang-orang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang
besar" [At-Taubah : 100]
Sisi pendalilannya adalah, Rabb sekalian manusia telah
memuji orang yang mengikuti sebaik-baik manusia maka jelaslah bahwa mereka
(Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang muhajirin dan anshar ) jika mengatakan satu perkataan lalu diikuti
oleh orang yang mengikutinya maka haruslah hal itu merupakan hal yang terpuji
dan berhak mendapatkan keridhoan, dan seandainya mengikuti mereka tidak
memiliki keistimewaan dari selain mereka maka dia tidak berhak mendapatkan
pujian dan keridhoan.
Kedua
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah" [Ali Imran :110]
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan keutamaan atas
sekalian umat-umat yang ada dan hal ini menunjukkan keistiqomahan mereka dalam
setiap keadaan ; karena mereka tidak menyimpang dari syari'at yang terang
benderang, sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala mempersaksikan bahwa mereka
memerintahkan setiap kemakrufan (kebaikan) dan mencegah setiap kemungkaran, hal
itu menunjukkan dengan pasti bahwa pemahaman mereka adalah hujjah atas orang
yang setelah mereka sampai Allah Subhanahu wa Ta'ala mewarisi bumi dan
seisinya.
Jika ditanya : Ini umum pada umat Islam seluruhnya tidak
khusus untuk generasi sahabat saja.
Saya jawab : Bahwa merekalah orang yang pertama yang
menjadi obyek penderita, dan tidak masuk dalam konteks ini orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik kecuali dengan kias (analogi) atau dengan dalil
sebagaimana dalil pertama. Dan seandainya konteksnya umum -inipun benar- maka
para sahabat adalah yang pertama masuk dalam keumuman konteks ayat, karena
mereka orang pertama yang menerima dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam tanpa perantara (langsung) sedang mereka adalah orang-orang yang
langsung berkenaan dengan wahyu, sehingga mereka lebih pantas dimasukkan dalam
konteks ayat daripada selainnya karena sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala
jadikan sebagai sifat mereka tidak memiliki sifat -sifat tersebut dengan
sempurna kecuali mereka. Dan kesesuaian sifat terhadap kondisi yang nyata
merupakan bukti bahwa mereka lebih pantas dari selainnya untuk dipuji. Hal itu
dijelaskan oleh :
Ketiga
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Sabik-baiknya manusia adalah generasiku
[1] kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi, kemudian
datang satu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya
dan sumpahnya mendahului persaksiannya" [Mutawatir, sebagaimana telah
ditegaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah 1/12 dan Al-Muanawiy
dalam Faidhul Qadir 3/478 serta disetujui oleh Al-Kataaniy dalam kitab Nadzmul
Mutanatsir hal.127]
Apakah keutamaan yang ditetapkan kepada generasi sahabat
ini ada pada warna kulit atau bentuk tubuh atau harta mereka ... dst ?
Tidak akan ragu bagi orang berakal yang telah memahami
Al-Kitab dan As-Sunnah bahwa bukan itu semua yang dimaksud ; karena tolak ukur
keutamaan dalam Islam adalah ketakwaan hati dan amal shalih, sebagaimana Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kami di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara
kamu" [Al-Hujuraat : 13]
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala
tidak melihat kepada bentuk kalian dan harta kalian akan tetapi melihat kepada
hati-hati kalian dan amalan kalian" [Hadits Shahih Riwayat Muslim 16/121
-Nawawiy]
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melihat kepada
hati-hati para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendapatkannya
sebagai sebaik-baik hati diantara para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam kemudian Allah memberikan kepahaman yang tidak didapatkan
oleh orang-orang yang menyusul mereka, oleh karena itu apa yang para sahabat
pandang sebagai kebaikan maka dia adalah kebaikan di sisi Allah Subahanahu wa
Ta'ala dan apa yang mereka pandang sebagai kejelekan maka dia adalah kejelekan
di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Abdullah bin Mas'ud berkata : Sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah melihat kepada hati-hati para hambaNya dan
mendapatkan hati Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebaik-baik hati para
hamba lalu memilihnya untuk dirinya dan diutus sebagai pembawa risalahNya,
kemudian melihat kepada hati-hati para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam dan mendapatkan hati-hati para sahabat beliau sebaik-baik
para hamba lalu menjadikan mereka sebagai pembantu NabiNya, mereka berperang di
atas agamaNya, maka apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dia baik di
sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan apa yang mereka pandang kejelekan maka dia
adalah kejelekan di sisi Allah Subahanhu wa Ta'ala. [2]
Dari Abu Juhaifah, beliau berkata.
"Artinya : Saya telah bertanya kepada Ali bin Abi
Thalib : 'Apakah kalian memiliki kitab ? Beliau menjawab : 'Tidak kecuali
Kitabullah atau pemahaman yang diberikan kepada seorang muslim atau apa yang
ada di lembaran ini [3]. Saya bertanya lagi : Apa yang ada di lembaran tersebut
? Beliau menjawab ; Diyat, pembebasan tawanan dan (pernyataan) bahwa seorang
muslim tidak di bunuh dengan sebab orang kafir" [Hadits Shahih Riwayat
Bukhari 1/204 - Al-Fath]
Dengan demikian maka pemahaman para sahabat terhadap
Al-Kitab dan As-Sunnah merupakan hujjah atas orang yang setelahnya sampai akhir
umat ini, oleh karena itu mereka menjadi saksi Allah Subhanahu wa Ta'ala
dipermukaan bumi ini, hal ini dijelaskan berikut.
Keempat
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan
kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu" [Al-Baqarah : 143]
Di sini Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan mereka
umat pilihan dan umat yang adil karena mereka adalah umat yang paling utama dan
paling adil dalam perkataan, perbuatan dan kehendaknya, sehingga mereka berhak
menjadi para saksi atas manusia dan dengan demikian Allah Subhanahu wa Ta'ala
memuji mereka, mengangkat nama mereka dan menerima mereka dengan baik. Dan
saksi yang diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah yang bersaksi
dengan ilmu dan kebenaran sehingga mengkhabarkan kebenaran yang berdasarkan
ilmunya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Akan tetapi (orang yang dapat memberi
syafa'at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka
meyakini(nya)" [Az-Zukhruf : 86]
Apabila persaksian mereka diterima di sisi Allah
Subhanahu wa Ta'ala maka tidak diragukan lagi bahwa pemahaman mereka dalam
agama merupakan hujjah atas orang yang setelah mereka, karena ayat ini telah
menjelaskan penunjukkan tersebut secara mutlak dan umat Islam tidak memutlakkan
sifat adil pada satu generasi kecuali kepada generasi sahabat, karena Ahlus
Sunnah wal Jama'ah memberikan sifat adil pada mereka secara mutlak dan
menyeluruh sehingga mereka mengambil dari sahabat secara riwayat dan ilmu
seluruhnya tanpa kecuali. Berbeda dengan selain sahabat, maka Ahlus Sunnah wal
Jama'ah tidak memberikan sifat adil ini kepada mereka kecuali yang telah diakui
keimanan dan keadilannya. Kedua hal ini tidak diberikan kepada seseorang
kecuali jika dia berjalan di atas jejak para sahabat.
Maka jelaslah dengan demikian bahwa pemahaman para
sahabat merupakan hujjah atas selainnya dalam pengarahan nash-nash Al-Kitab dan
As-Sunnah oleh karena itu diperintahkan untuk mengikuti jalan mereka, hal ini
dijelaskan dalam.
Kelima
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku" [Luqman : 15]
Setiap sahabat adalah orang yang kembali kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala, lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kepada mereka hidayah
(petunjuk) untuk mendapatkan perkataan yang baik dan amalan shalih dengan dalil
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan orang-orang yang menjauhi thaghut
(yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira
; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah
orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang
mempunyai akal" [Az-Zumar : 17-18]
Maka wajib mengikuti jalan mereka dalam memahami agama
Allah baik Al-Qur'an ataupun As-Sunnah, oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'a
mengancam orang yang tidak mengikuti jalan mereka dengan neraka jahannam
seburuk-buruknya tempat kembali, hal ini dijelaskan.
Keenam
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya
tempat kembali" [An-Nisaa : 115]
Sisi pendalilannya adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah mengancam orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin sehingga
menunjukkan bahwa mengikuti jalan mereka dalam memahami syari'at adalah wajib
dan menyelisihinya adalah kesesatan.
Jadi dikatakan : Ini adalah Istidlal (pendalilan) dengan
dalil khithaab dan hal itu bukanlah hujjah, maka kami katakan ; Dia itu dalil,
dan dibawah ini akan dijelaskan dalilnya.
[a]. Dari Ya'la bin Umaiyah beliau berkata : Saya telah
bertanya kepada Umar.
"Artinya : Maka tidaklah mengapa kamu menqashar
shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir" [An-Nisaa : 101]
Padahal manusia telah aman ? Umar berkata : "Saya
telah heran seperti yang kamu herankan, lalu saya bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal tersebut dan beliau menjawab :
"Artinya : Shadaqah yang Allah Subhanahu wa Ta'ala
berikan kepada kalian maka terimalah shadaqahNya" [Hadits Riwayat Muslim
5/196 - An-Nawawiy]
Kedua sahabat ini yaitu Ya'la bin Umaiyah dan Umar bin
Al-Khathab memahami dari ayat ini bahwa qashar shalat terkait dengan syarat
takut, sehingga jika manusia telah aman wajib menyempurnakan shalat dan ia
adalah dalil khithaab yang dinamakan juga dengan Mafhum Mukhalafah.
Lalu Umar bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dan beliau Shallallahu 'alihi wa sallam menyetujui pemahamannya akan
tetapi beliau jelaskan kepada Umar bahwa hal itu tidak dipakai disini ; karena
Allah Subahanahu wa Ta'ala telah bershadaqah kepada kalian maka terimalah
shadaqahnya tersebut.
Seandainya pemahaman Umar tidak benar tentunya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sejak awal tidak mendiamkannya kemudian
mengarahkan pengarahan ini dan ada pepatah yang mengatakan : Taujih
(pengarahan) bagian dari penerimaan.
[b]. Dari Jabir dari Ummu Mubasyir bahwa dia telah
mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata di hadapan Hafshah.
"Artinya : Tidaklah masuk neraka seorangpun -insya
Allah- dari Ashhab Syajaroh yang berbaiat dibawahnya"
Dia berkata : benar wahai Rasulullah, lalu beliau
menghardiknya lalu berkata Hafshah :
"Artinya : Dan tidak ada seorangpun daripadamu,
melainkan mendatangi neraka itu" [Maryam : 71]
Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : Allah
telah berfirman.
"Artinya : Kemudian Kami akan menyelamatkan
orang-orang yang bertaqwa dan membiarkan orang-orang yang zhalim di dalam naar
dalam keadaan berlutut" [Maryam : 72]
Di sini Ummul Mukminin Hafshah memahami dari ayat ini
bahwa semua manusia akan masuk neraka, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam meluruskan hal itu dengan lanjutan ayat tersebut yaitu :
"Artinya : Kemudian Kami akan menyelamatkan
orang-orang yang bertaqwa" [Maryam : 72]
Pada awalnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengakui kebenaran pemahaman Hafshah, kemudian menjelasakan bahwa konteks kata
" tidak masuknya neraka" (dalam hadits itu) berbeda dengan konteks
kata "wurud" (datangnya orang ke neraka yan ada dalam ayat tersebut)
dan menjelaskan bahwa yang pertama itu khusus untuk orang-orang shalih yang
bertaqwa yakni mereka tidak merasakan adzab neraka dan masuk ke syurga dengan
melewatinya tanpa disentuh sedikitpun siksaan dan adzab, sedangkan selain
mereka tidak demikian.
Maka jelaslah Alhmadulillah bahwa dalil khithaab adalah
hujjah yang diakui dan dapat disandarkan dalam pemahaman.
Cukuplah bagimu bahwa firman Allah :
"Artinya : Dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mu'min" [An-Nisaa : 115]
Bukanlah dalil khithab akan tetapi hal itu merupakan
argumentasi dengan Taqsiimin Aqliy (pembagian secara logika), karena tidak ada
pilihan yang ketiga antara mengikuti jalan orang-orang mukmin dan mengikuti
selain jalan mereka.
Maka ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang ikut
selain jalan mereka maka wajiblah mengikuti jalan mereka, ini sudah sangat
jelas sekali.
Jika ada yang membantah : Ada di antara dua pilihan
tersebut pilihan yang ketiga yaitu tidak ikut kedua-keduanya.
Maka saya jawab : Ini merupakan pendapat yang sangat
lemah sekali ; karena tidak mengikuti keduanya sama sekali berarti mengikuti
jalan selain mereka (orang-orang mukmin) secara pasti karena firman Allah :
"Artinya : Maka tidak ada sesudah kabenaran itu,
melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)"
[Yunus : 32]
Jelaslah di sini bahwa hanya ada dua pilihan dan tidak
ada pilihan yang ketiga. Jika dikatakan : Kami tidak setuju bahwa mengikuti
selain jalan orang-orang mukmin berhak mendapat ancaman tersebut (dalam ayat)
kecuali dibarengi dengan penentangan terhadap Rasul Shallallahu 'alaihi wa
sallam sehinnga hal itu tidak menunjukkan pengharaman mengikuti selain jalan
kaum mukminin secara mutlak akan tetapi harus ada penentangan Rasulnya.
Jawabannya ; Telah diketahui bahwa menentang Rasul
diharamkan secara tersendiri dan terpisah karena adanya peringatan atas hal
tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan barangsiapa menentang Allah dan
Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya" [Al-Anfaal :
13]
Maka ayat ini menunjukkan ancaman tersebut ada untuk
setiap dari keduanya secara tersendiri dan pensifatan ini (mengikuti selain
jalan kaum mukminin) termasuk yang mendapat ancaman secara tersendiri dan hal
itu ditinjau dari hal-hal berikut ;
[a]. Mengikuti selain jalan kaum mukminin seandainya
tidak diharamkan secara tersendiri maka tidak diharamkan bersama penentangan
seperti penyelamat yang lainnya.
[b]. Mengikuti selain jalan kaum mukminin seandainya
tidak termasuk dalam ancaman tersebut secara tersendiri maka (pensifatan
tersebut) hanyalah sia-sia dan tidak ada faedahnya untuk disebutkan, maka
jelaslah bahwa penghubungannya (dalam konteks ayat tersebut) adalah dalil
tersendiri seperti yang awal.
Jika ada yang mengatakan : Kami tidak sependapat jika
ancaman tersebut berlaku untuk semua orang yang mengikuti selain jalan kaum
mukminin secara mutlak akan tetapi hal itu berlaku setelah jelas baginya
petunjuk, karena Allah menyebut penentangan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam
dan mensyaratkan padanya kejelasan petunjuk kemudian dihubungkan dengan
mengikuti selain jalan kaum mukminin, hal itu menunnjukkan bahwa kejelasan petunjuk
merupakan syarat dalam ancaman terhadap orang yang mengikuti selain jalan kaum
mukminin.
Jawabanya : Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
"Artinya : Dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mu'min" [An-Nisaa : 115]
Ma'thuf (disandarkan/dihubungkan) dengan firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala :
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya" [An-Nisaa : 115]
Maka hal itu menunjukkan bahwa kait (syarat) pada awal
ayat bukanlah syarat bagi yang kedua akan tetapi kata hubung tersebut hanya
untuk menunjukkan kesatuan dan kesamaan dalam hukum yaitu firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali" [An-Nisaa : 115]
Hal ini menunjukkan bahwa setiap sifat dari kedua sifat
tersebut mendapatkan ancaman tersendiri.
Hal ini di bawah ini dapat menunjukkannya.
Kejelasan petunjuk (kebenaran) merupakan syarat dalam
(hukum) penentangan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena orang yang
tidak mengetahui petunjuk (kebenaran) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak dikatakan menentang sedangkan mengikuti jalan kaum mukminin merupakan
petunjuk (kebenaran) itu sendiri.
Konteks ayat ini adalah untuk mengagungkan dan memuliakan
kaum mukminin, maka seandainya mengikuti jalan mereka disyaratkan dengan
datangnya kejelasan petunjuk (kebenaran) maka tidaklah mengikuti jalan mereka
ini lantaran sebagai jalan mereka akan tetapi karena telah datang kejelasan
petunjuk (kebenaran) dan jika demikian tidak ada faedah mengikuti jalan mereka.
Dengan demikian jelaslah bahwa mengikuti jalan kaum
mukminin merupakan jalan keselamatan dan pemahaman para sahabat dalam agama
adalah hujjah atas selain mereka, sehingga orang yang menentangnya maka telah
menghendaki kesesatan dan berjalan di tempat yang berbahaya, maka cukuplah
Jahanam (neraka) sebagai sejelek-jeleknya tempat tinggal dan kembalinya. Inilah
kebenaran maka berpegang teguhlah kepadanya dan tinggalkanlah jalan-jalan yang
menyimpang, dan hal itu juga dijelaskan oleh.
Ketujuh
Firman Allah Subhnahu waa Ta'ala
"Artinya: Barangsiapa berpegang teguh kepada
Dienullah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang
lurus".[Ali Imran : 101]
Para sahabat merupakan orang-orang yang berpegang pada
tali Allah, karena Allah adalah wali orang-orang yang berpegang teguh kepadaNya
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya: Dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia
adalah pelindungmu,maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik
penolong".[Al-Hajj :78]
Dan telah diketahui kesempurnaan perlindungan dan
pertolongan Allah kepada mereka yang menunjukan bahwa mereka adalah orang-orang
yang berpegang teguh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka adalah
orang-orang yang memberi petunjuk dengan persaksian Allah dan menyampaikan
kebenaran merupakan satu kewajiban menurut syariat, akal dan fitrah, oleh
karena itu menjadikan mereka sebagai imam-imam bagi kaum mutaqin (orang-orang
yang bertaqwa ) karena kesabaran dan keyakinan mereka dan itu dijelaskan oleh:
Kedelapan
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
"Artinya : Danjadikanlah kami imam bagi orang yang
bertaqwa". [Al-Furqan : 74]
Setiap orang yang bertaqwa akan diikuti oleh mereka
sedangkan ketaqwaan adalah wajib sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam
banyak ayat yang sulit untuk memaparkannya pada kesempatan ini, sehingga
jelaslah kewajiban mengikuti mereka dan penyimpangan dari jalan meraka
merupakan pintu fitnah dan musibah.
Kesembilan
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
"Artinya : Dan kami jadikan di antara mereka itu
pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka
sabar. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami".[As-Sajadah : 24]
Sifat ini diberikan untuk para sahabat Musa dimana Allah
Subhanahu Wa Ta'ala mengkhabarkan Bahwa Dia telah menjadikan mereka sebagai
imam-imam yang diikuti oleh orang yang setelah mereka dengan kesabaran dan
keyakinannya, karena keimaman (kepemimpinan) di dunia dapat dicapai dengan
kesabaran dan keyakinan.
Sudah pasti para sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam lebih berhak dan pantas mendapat sifat ini dari para sahabat Musa
tersebut karena mereka lebih sempurna keyakinan dan lebih besar kesabarannya
dari umat yang lain sehingga mereka lebih pantas memegang jabatan keimamam ini.
Hal ini telah ditetapkan juga oleh persaksian Allah dan pujian Rasulullah
terhadap mereka. Kalau begitu mereka adalah orang yang paling pintar dari umat
ini sehingga kita diwajibkan untuk merujuk kepada fatwa dan pendapat mereka
serta terikat dengan pemahaman mereka terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah secara
amalan, akal dan syariat, wabillahi taufiq.
Kesepuluh
Dari Abi Musa Al-Asy'ariy beliau berkata :
"Artinya : Kami sholat maghrib bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu kami berkata : Semalam kita duduk-duduk
sampai shalat Isya bersama beliau lalu kami duduk sampai Rasulullah menemui
kami dan berkata ; Kalian masih di sini ? kami menjawab : wahai Rasulullah kami
telah shalat bersamamu kemudian kami berkata : kami akan tetap duduk sampai
shalat Isya bersamamu, beliau menjawab ; bagus atau benar. Abu Musa berkata :
kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kepala ke langit dan
hal itu sering beliau lakukan lalu bersabda : bintang-bintang adalah penjaga
langit, jika hilang bintang-bintang tersebut maka datanglah bencana padanya dan
saya adalah penjaga para sahabatku maka jika saya pergi datang kepada mereka
apa yang dijanjikan dan sahabatku adalah penjaga umatku jika telah pergi
sahabatku datanglah kepada umat ku apa yang dijanjikan" [Hadits Riwayat
Muslim 16/82 -An-Nawawiy]
Rasulullah menjadikan kedudukan para sahabatnya
dibandingkan dengan generasi setelah mereka dari umat Islam sebagaimana
kedudukan beliau kepada para sahabatnya dan sebagaimana kedudukan bintang
terhadap langit.
Jelaslah Tasybih Nabawiy (perumpamaan Nabi) ini
menjelaskan kewajiban mengikuti pemahaman para sahabat dalam agama Islam sama
dengan kewajiban umat Islam kembali kepada Nabi mereka karena Nabi adalah
penjelas Al-Qur'an sedangkan para sahabatnya adalah penyampai dan penjelas
beliau bagi umat. Demikianlah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah
seorang yang maksum yang tidak berbicara dengan hawa nafsu dan beliau hanya
mengucapkan petunjuk dan hidayah, sedangkan para sahabatnya adil yang tidak
berkata-kata kecuali dengan kejujuran dan tidak mengamalkan sesuatu kecuali
kebenaran.
Dan demikian juga Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
menjadikan bintang-bintang sebagai alat pelempar syaitan ketika mencuri khabar
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Sesungguhnya Kami telah menghias langit
yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharanya
(sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang sangat durhaka, syaithan-syaithan
itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka
dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan
yang kekal, akan tetapi barangsiapa (diantara mereka) yang mencuri-curi
(pembicaraan) ; maka ia dikejar-kejar oleh suluh api yang cemerlang"
[Ash-Shaaffat : 9-10]
Dan firmanNya.
"Artinya : Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit
yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu
alat-alat pelempar syaithan" [Al-Mulk : 5]
Demikian juga para sahabat adalah hiasan umat Islam yang
menghancurkan ta'wil orang-orang bodoh, ajaran batil dan penyimpangan orang
yang menyimpang yang mengambil sebagian Al-Qur'an dan membuang sebagiannya,
mengikuti hawa nafsu mereka lalu bercerai-berai ke kanan dan ke kiri lalu
mereka menjadi berkelompok-kelompok. Demikian juga bintang-bintang menjadi
tanda bagi penduduk bumi agar mereka gunakan sebagai alat petunjuk di kegelapan
darat dan laut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan Dia (ciptakan) tanda-tanda (penunjuk
jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk."
[An-Nahl : 16]
Dan firmanNya.
"Artinya : Dan Dia-lah yang menjadikan
bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat
dan di laut" [Al-An'am :97]
Demikian juga para sahabat, mereka dicontoh untuk
menyelamatkan diri dari kegelapan syahwat dan syubhat, maka orang yang
berpaling dari pemahaman mereka berada dalam kesesatan yang membawanya kepada
kegelapan yang sangat kelam, seandainya dia mengeluarkan tangannya maka tidak
terlihat lagi.
Dengan pemahaman para sahabat, kita membentengi Al-Kitab
dan As-Sunnah dari kebid'ahan syaithan jin dan manusia yang menginginkan fitnah
dan ta'wilnya untuk merusak apa yang dimaksud Allah dan RasulNya. Sehingga
pemahaman para sahabat merupakan pelindung dari kejelekan dan sebab-sebabnya.
Seandainya pemahaman mereka bukan hujjah tentunya pemahaman orang setelah
mereka menjadi penjaga dan pelindung mereka dan ini mustahil.
Kesebelas
Hadits-hadits yang menjelaskan kewajiban untuk mencintai
para sahabat dan mencela orang yang membenci mereka -dan merupakan kesempurnaan
dalam mencintai mereka adalah dengan mencontoh jejak langkah dan berjalan di
atas petunjuk mereka dalam memahami kitabullah dan sunnah Rasulullah- sangat
banyak, diantara hadits-hadits tersebut adalah sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam.
"Artinya : Janganlah mencela sahabatku karena
seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung uhud tidak
akan menyamai satu mud atau setengah mudnya shadaqah mereka" [4]
Keutamaan ini bukan saja dari sisi mereka telah melihat,
berdampingan dan bersahabat dengan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan
tetapi hal itu karena ittiba' dan pengamalan mereka terhadap sunnah beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang demikian besar. Pantaslah jika pemahaman
mereka dijadikan jalan petunjuk dan pendapat-pendapat mereka dijadikan kiblat
tempat seorang muslim menghadapkan wajahnya dan tidak berpaling kepada
selainnya. Dan hal itu jelas -jika dilihat- sebab turunnya hadits ini dimana
orang yang dilarang tersebut adalah Khalid bin Al-Walid dan beliau seorang
sahabat, maka apabila satu mud sebagian sahabat atau setengahnya lebih baik di
sisi Allah dari emas sebesar gunung uhud lantaran keutamaan dan terdahulunya
mereka dalam Islam, maka tidak diragukan lagi adanya perbedaan yang besar
antara sahabat dengan orang yang setelah mereka. Kalau keadaannya seperti ini
bagaimana mungkin pemahaman orang yang memiliki akal yang cemerlang dalam agama
Allah ini tidak menjadi jalan petunjuk yang membawa kepada jalan yang lebih
lurus ?
Keduabelas
Diantaranya hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Berpegang teguhlah kepada sunnahku dan
sunnah para Khulafaur Rasyidin dan gigitlah dengan gigi gerahammu" [Telah
lewat Takhrijnya]
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan umatnya ketika terjadi perselisihan untuk
berpegang teguh kepada sunnahnya dengan paham para sahabatnya sebagaimana telah
lalu penjelasannya.
Diantara faedah berharga dari hadits ini, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menyebut sunnahnya dan sunnah para
Khulafaur Rasyidin berkata :
Dalam rangka untuk menunjukkan bahwa sunnah beliau dan
sunnah para Khalifah Rasyidin adalah satu manhaj dan hal itu hanya terjadi
dengan pemahaman yang shahih dan jelas yaitu berpegang teguh kepada sunnah
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman para sahabatnya.
Ketigabelas
Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
mensifatkan manhaj Firqatun Najiyah (golongan yang selamat) dan Ath-Thaifah
Al-Manshurah (kelompok yang dimenangkan) :
"Artinya : Apa yang aku ada atasnya sekarang dan
para sahabatku" [Telah lalu Takhrijnya]
Ada yang mengatakan : Tidak diragukan lagi bahwa
pemahaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya setelah
beliau adalah manhaj yang tidak ada kebatilannya akan tetapi apa dalilnya kalau
manhaj salafi adalah pemahaman Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para
sahabatnya ?
Jawaban atas pertanyaan ini ada dari dua sisi :
Sesungguhnya pemahaman-pemahaman yang disebutkan tadi
adanya setelah zaman Nabi dan kekhilafahan Rasyidah dan tentunya tidaklah
dinisbatkan yang terdahulu kepada yang setelahnya akan tetapi sebaliknya, sehingga
jelaslah kelompok yang tidak berjalan dan mengikuti jalan-jalan kesesatan
adalah kelompok yang berada pada asalnya.
Kami tidak menemukan pada kelompok-kelompok sempalan umat
Islam yang sesuai dengan para sahabat kecuali Ahlul Sunnah wal Jama'ah dari
kalangan pengikut As-Salaf Ash-Shalih Ahlul Hadits.
Adapun Mu'tazilah bagaimana bisa sesuai dengan para
sahabat sedangkan tokoh-tokoh besar mereka mencela tokoh besar sahabat dan
merendahkan keadilan mereka serta menuduh mereka sesat seperti Al-Washil bin
Atho' yang menyatakan : Seandainya Ali, Tholhah dan Az-Zubair bersaksi maka
saya tidak menghukum karena persaksian mereka.[Lihat Al-Farqu Bainal Firaq
hal.119-120]
Adapun Khawarij telah keluar dari agama dan menyempal
dari jama'ah kaum muslimin karena diantara pokok-pokok dasar ajaran mereka
adalah mengkafirkan Ali dan anaknya, Ibnul Abbas, Utsman, Thalhah, Aisyah dan
Mu'awiyah dan tidaklah berada diatas sifat-sifat para sahabat orang yang
melecehkan dan mengkafirkan mereka.
Adapun Shufiyah, mereka meremehkan warisan para Nabi dan
merendahkan para penyampai Al-Kitab dan As-Sunnah serta mensifatkan mereka
sebagai para mayit. Seorang tokoh besar mereka berkata : Kalian mengambil ilmu
kalian, dari mayit sedangkan kami mengambil ilmu kami dari yang maha hidup yang
tidak mati (Allah) langsung. Oleh karena itu mereka mengatakan -dengan
mulut-mulut mereka untuk menolak sanad hadits- : Telah mengkhabarkan kepada
saya hati saya dari Rabb.
Adapun Syi'ah, mereka telah meyakini bahwa para sahabat
telah murtad setelah kematian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali
beberapa orang saja, lihatlah Al-Kisyiy -salah seorang imam mereka-
meriwayatkan satu riwayat dalam kitab Rijalnya hal. 12,13 dari Abu Ja'far,
bahwa dia telah menyatakan : Semua orang murtad setelah kematian Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali tiga, saya berkata : Siapakah ketiga
orang tersebut ? Beliau jawab : Al-Miqdaad bin Al-Aswaad, Abu Dzar Al-Ghifary
dan Salman Al-Farisiy.
Dan meriwayatkan dalam hal.13 dari Abu Ja'far, dia
berkata : Kaum Muhajirin dan Anshor telah keluar (dari agama) kecuali tiga.
[Lihat Al-Kaafiy karya Al-Kulaniy, hal.115]
Lihat juga Khumaini -tokoh besar mereka di zaman ini-
mencela dan melaknat Abu Bakar dan Umar dalam kitabnya Kasyful Asroor hal, 131,
dia menyatakan : Sesungguhnya syaikhani (Abu Bakar dan Umar) ... dan dari sini
kita dapati diri kita terpaksa menyampaikan bukti-bukti penyimpangan mereka
berdua yang sangat jelas terhadap Al-Qur'an dalam rangka membuktikan bahwa
kedua telah menyelisihinya.
Dan berkata lagi hal 137 : ... dan Nabi menutup matanya
(wafat) sedangkan kedua telinga beliau ada ucapan-ucapan Ibnul Khaththab yang
tegak diatas kedustaan dan bersumber dari amalan kekufuran, kezindikan dan
penyelisihan terhadap ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur'an yang mulia.
Adapun Murji'ah, mereka berkeyakinan bahwa iman
orang-orang munafiq yang berada dalam kenifakan sama seperti imannya
Assabiqunal Awalun (orang-orang pertama yang masuk Islam) dari kalangan
Muhajirin dan Anshar.
Bagaimana mereka semua ini bersesuaian dengan para
sahabat sedangkan mereka :
Mengkafirkan orang-orang pilihan dari kalangan mereka
Tidak menerima sedikitpun yang mereka riwayatkan dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam aqidah dan hukum syari'at.
Mengikuti peradaban Rumawi dan filsafat Yunani
Kesimpulannya
Kelompok-kelompok ini semua ingin menolak para saksi kita
terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah dan mencela mereka sedangkan mereka lebih
pantas dicela dan mereka ini adalah kaum zindiq.
Dengan demikian jelaslah bahwa pemahaman salaf adalah
manhaj Al-Firqatun Najiyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah dalam konsep pemahaman,
penerimaan dan Istidlal (pengambilan hukum).
Sedangkan orang-orang yang mencontoh para sahabat adalah
orang-orang yang beramal dengan riwayat-riwayat (hadits) yang shahih dan
otentik dalah hukum syariat, dengan jalan dan pemahaman sahabat, dan ini
merupakan jalan hidupnya Ahlul Hadits, bukan jalannya ahlul bid'ah dan hawa.
Sehingga benar dan kuatlah apa yang telah kami paparkan ketika kami jelaskan
wujud keberhasilan mereka dalam berhukum kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dengan keberhasilan orang yang mengambil sunnah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dan sunnahnya para Khulafaur Rasyidin setelah beliau.
[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy,
edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika
Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam
Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]
_______
Footnote.
[1]. Tertulis dalam banyak buku hadits ini degan lafadz :
"Sebaik-baiknya generasi". Saya mengatakan bahwa lafadz-lafadz ini
lemah dan yang benar apa yang telah saya tulis ini.
[2]. Dikeluarkan oleh Ahmad I/379, Ath-Thoyalisiiy dalam
musnadnya hal.23 dan Al-Khotib Al-Baghdadiy dalam Al-faqih wal Mutafaqqih I/166
secara mauquf dengan sanad yang hasan. Kata-kata terakhir dari atsar ini telah
masyhur sebagai hadits marfu' dan itu tidak benar sebagaimana telah dijelaskan
para imam dan itu hanyalah dari perkataan Ibnu Mas'ud, sebagaimana telah saya jelaskan
dalam kitab Al-Bid'ah wa Atsaruha fil Umat, hal.21-22 silahkan dilihat.
[3]. Ini adalah nash yang cukup tegas dari Amiril
Mukminin Ali bin Abi Thalib menghancurkan kebatilan syiah rafidhah yang
menisbatkan diri mereka kepada keluarga Nabi (ahlil bait) secara dzolim dan
menipu ketika mengaku-ngaku bahwa ahlil bait memiliki kitab yang berukuran tiga
lipat dari Al-Qur'an yang berada di tangan kita yang mereka namakan Mushaf
Fatimah. Lihat Bughyatul Murtaab karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal.321-322
[4]. Hadits Riwayat Al-Bukhariy 7/21 - Al-Fath dan Muslim
16/92-93 - An-Nawawiy dari hadits Abi Said Al-Khudriy. Dan disebutkan dalam
Shahih Muslim (16/92 - An-Nawawiy) dari hadits Abi Hurairah dan ini satu
kesalahan sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Hafidz Al-Baihaaqiy dalam
Al-Madkhol Ila Sunnah hal. 113 dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bariy 7/135, untuk
lebih jelasnya lihat kitab : Juz Muhammad bin Ashim An-Syuyukhihi yang saya
tahqiq (13)
SAHABAT DAN TABIIN BERHUJJAH (BERARGUMENTASI) DENGAN
FAHAM SALAF DAN MANHAJ MEREKA
Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
[1]. Abdullah bin Mas'ud
Dari Amru bin Salamah beliau berkata : Kami duduk-duduk
di depan rumah Abdullah bin Mas'ud sebelum Dzuhur lalu jika beliau keluar kami
akan berjalan bersamanya ke masjid, lalu datanglah Abu Musa Al-Atsary dan
berkata : "Apakah Abu Abdurrahman telah menemui kalian ?"
Kami jawab : Belum.
Lalu beliau duduk bersama kami sampai Abdullah bin Mas'ud
keluar, ketika beliau keluar kami semua menemuinya kemudian berkata Abu Musa
kepadanya : "Wahai Abu Abdurrahman saya telah melihat di masjid tadi satu
hal yang saya anggap mungkar dan saya tidak memandangnya -Alhamudlillah-kecuali
kebaikan.
Beliau bertanya : "Apa itu ?"
Dijawab : "Jika engkau hidup niscaya akan melihatnya,
aku telah melihat di masjid suatu kaum berhalaqah, duduk-duduk menanti shalat
pada setiap halaqah ada seorang yang memimpin dan ditangan-tangan mereka ada
batu kerikil, lalu berkata (yang memimpin) : "Bertakbirlah seratus kali
dan mereka bertakbir seratus kali dan berkata " "bertasbihlah seratus
kali dan mereka bertasbih seratus kali".
Berkata Abdullah bin Mas'ud : "Apa yang engkau
katakan kepada mereka"
Abu Musa menjawab : "Saya tidak mengatakan
sesuatupun pada mereka menunggu perintahmu.
Berkata Abdullah bin Mas'ud : "Mengapa tidak kamu
perintahkan mereka untuk menghitung kejelekan mereka[1] dan aku menjamin mereka
tidak ada kebaikan mereka yang disia-siakan".
Kemudian beliau berjalan dan kami berjalan bersamanya
sampai beliau mendatangi satu halaqah dari pada halaqah-halaqah tersebut dan
menghadap mereka lalu berkata : "Apa ini yang kalian lakukan ?!"
Mereka menjawab : "Wahai Abu Abdirrahman, batu
kerikil yang kami pakai untuk menghitung tahlil dan tasbih".
Berkata Ibnu Mas'ud : "Dan aku menjamin tidak akan
ada satupun kebaikan kalian yang tersia-siakan, celakalah kalian wahai umat
Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian, mereka sahabat-sahabat nabi
masih banyak hidup dan ini pakaiannya belum rusak dan bejananya belum hancur
dan demi dzat yang jiwaku di tangannya sesungguhnya kalian berada di atas agama
yang lebih baik dari agama Muhammad atau kalian pembuka pintu kesesatan".
Mereka berkata : "Demi Allah wahai Abu Abdurrahman,
kami tidak menginginkan kecuali kebaikan, lalu beliau berkata : "Berapa
banyak orang yang menginginkan kebaikan tidak mendapatkannya: Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya ada kaum
yang membaca Al-Qur'an tidak melebihi tenggorokkannya [2] dan demi Allah saya
rasa tampaknya kebanyakan mereka adalah dari kalian.
Kemudian beliau meninggalkan mereka. Amru bin Salamah
berkata : "Aku telah melihat mayoritas halaqah-halaqah tersebut memerangi
kami pada perang Nahrawan bersama Khawarij" [3]
Disini Abdullah bin Mas'ud telah beragumentasi kepada
cikal bakal Khawarij dengan keberadaaan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam diantara mereka dan mereka tidak melaksanakan pekerjaan tersebut, sebab
seandainya hal itu merupakan kebaikan sebagaimana yang mereka sangka tentu
sahabat-sahabat nabi telah mendahului mereka untuk melakukannya, maka itu
merupakan kesesatan. Maka seandainya manhaj sahabat bukanlah hujjah atas orang
setelah mereka maka tentu mereka berkata kepada Abdullah bin Mas'ud :
"Kalian rijal dan kami rijal".
[2]. Beliaupun berkata :
Barangsiapa yang mencontoh maka contohlah sahabat-sahabat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena mereka adalah orang-orang dari
umat ini yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling tidak
macam-macam, paling baik contoh teladannya dan paling bagus keadaannya, mereka
adalah suatu kaum yang dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menemani
NabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan untuk menegakkan agamaNya, maka
akuilah keutamaan mereka dan ikutilah jejak langkah mereka karena mereka telah
berada diatas petunjuk yang lurus.
[3]. Abdullah bin Abbas.
Ketika muncul kelompok Haruriyah (Khawarij) [4] mereka
memisahkan diri di suatu perkampungan, mereka berjumlah 6000 orang dan
bersepakat untuk menyempal (memberontak) dari Ali Radhiyallahu anhu.
Orang-orang selalu mendatangi Ali Radhiyallahu 'anhu dan berkata : Wahai Amirul
Mukminin sesungguhnya kaum tersebut akan memberontak kepadamu. Lalu beliau
menjawab : Biarkan mereka karena saya tidak akan memerangi mereka sampai mereka
memerangi saya dan mereka akan melakukannya. [5]
Pada suatu hari saya (Ibnu Abbas) mendatanginya sebelum
shalat dzuhur dan aku berkata kepada Ali Radhiyallahu 'anhu : Wahai Amirul
Mukminin akhirkan shalat agar saya dapat mengajak bicara mereka. Beliau berkata
: Saya mengkhawatirkan mereka mencelakai kamu. Saya menjawab : Tidak akan,
karena saya seorang yang berakhlak baik dan tidak pernah menyakiti seorangpun.
Lalu beliau mengizinkan saya, maka saya mengenakan
pakaian yang paling bagus dari pakaian Yaman dan menyisir rambut saya kemudian
aku menemui mereka di perkampungan mereka di tengah hari sedang mereka sedang
makan, lalu saya menemui satu kaum yang saya tidak pernah menemukan kaum yang
lebih bersungguh-sungguh (dalam ibadah) dari mereka, dahi-dahi mereka hhitam
dari sujud, tangan-tangan mereka kasar seperti kasarnya unta dan mereka
mengenakan gamis-gamis yang murah dan tersingkap serta wajah-wajah mereka pucat
menguning.
Lalu saya memberi salam kepada mereka dan mereka menjawab
: Selamat datang wahai Ibnu Abbas pakaian apa yang engkau pakai ini ?!
Saya menjawab : Apa yang kalian cela dariku ? Sunnguh
saya telah melihat Rasululla Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat bagus sekali
ketika mengenakan pakaian Yaman, kemudian membacakan firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala.
"Artinya : Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari
Allah yang telah dikeluarkanNya untuk hamba-hambanNya dan (siapa pulakah yang
menharamkan) rezki yang baik" [Al-A'raaf : 32]
Lalu mereka berkata : Apa maksud kedatangan engkau ?
Saya katakan pada mereka : Saya mendatangi kalian sebagai
utusan para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Muhajirin dan
Anshar dan dari sepupu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menantunya
sedangkan Al-Qur'an turun pada mereka sehingga mereka lebih mengetahui terhadap
ta'wilnya dari kalian dan tidak ada di kalangan kalian seorangpun dari mereka ;
sungguh saya akan menyampaikan kepada kalian apa yang mereka sampaikan dan saya
akan sampaikan kepada mereka apa yang kalian sampaikan.
Lalu berkata sekelompok dari mereka : Janganlah kalian
berdebat dengan orang Quraisy karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka
bertengkar" [Az-Zukhruf : 58]
Kemudian bangkit kepadaku sebagian dari mereka dan
berkata dua atau tiga orang : Sungguh kami akan mengajak bicara dia. Saya
berkata : Silahkan, apa dendam kalian terhadap para sahabat Rasulullah dan
sepupunya ? mereka menjawab : Tiga.
Saya katakan : Apa itu ?
Mereka mengatakan : Yang pertama karena dia berhukum
kepada orang dalam perkara Allah Subhanahu wa Ta'ala sedangkan Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah..." [Al-An'am : 57]
Saya katakan : Ini satu.
Mereka berkata lagi : Yang kedua karena dia berperang dan
tidak menawan dan merampas harta (yang diperangi), kalau mereka kaum kafir maka
halal menawannya dan kalau mereka kaum mu'minin maka tidak boleh menawan mereka
dan tidak pula memerangi mereka [6]
Saya katakan : Ini yang kedua dan apa yang ketiga ?
Mereka berkata : Dia menghapus gelar Amirul Mu'minin dari
dirinya, maka jika dia bukan Amirul Mu'minin, dia Amirul Kafirin.
Saya katakan : Apakah masih ada pada kalian selain ini ?
Mereka menjawab : Ini sudah cukup
Saya katakan kepada mereka : Bagaimana pendapat kalian
kalau saya bacakan kepada kalian bantahan atas pendapat kalian dari Kitabullah
dan Sunnah NabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, apakah kalian mau kembali ?
Mereka menjawab : Ya.
Saya katakan : Adapun pendapat kalian bahwa dia (Ali)
berhukum kepada orang (manusia) dalam perkara Allah maka saya bacakan kepada
kalian ayat dalam kitabullah dimana Allah menjadikan hukumnya kepada manusia
dalam menentukan harga 1/4 dirham, lalu Allah memerintahkan mereka untuk
berhukum kepadanya. Apa pendapatmu tentang firman Allah :
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara
kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang
ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang
adil diantara kamu" [Al-Maa'idah : 95]
Dan hukum Allah diserahkan kepada orang (manusia) yang
menghukum dalam perkara tersebut, dan kalau Allah kehendaki maka dia
menghukumnya sendiri, kalau begitu tidak mengapa seseorang berhukum kepada
manusia, demi Allah Subhanahu wa Ta'ala apakah berhukum kepada manusia dalam
masalah perdamaian dan pencegahan pertumpahan darah lebih utama ataukah dalam
perkara kelinci ? mereka menjawab : Tentu hal itu lebih utama. Dan Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman tentang seorang wanita dan suaminya.
"Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan" [An-Nisaa' : 35]
Demi Allah Subhanahu wa Ta'ala apakah berhukum kepada
manusia dalam perdamaian dan mencegah pertumpahan darah lebih utama dari
berhukum kepada manusia dalam permasalahan wanita ?! Apakah saya telah menjawab
hal itu ?
Mereka berkata : Ya
Saya katakan : Pendapat kalian : "Dia berperang akan
tetapi tidak menawan dan merampas harta perang". Apakah kalian ingin
menawan ibu kalian Aisyah yang kalian menghalalkannya seperti kalian
menghalalkan selainnya, sedangkan beliau adalah ibu kalian ? Jika kalian menjawab
: Kami menghalalkannya seperti kami menghalalkan selainnya maka kalian telah
kafir dan jika kalian menjawab : Dia bukan ibu kami maka kalian telah kafir,
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya :Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi
orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu
mereka" [Al-Ahzab : 6]
Maka kalian berada di dua kesesatan, silakan beri jalan
keluar ; Apakah saya telah menjawabnya ?
Mereka berkata : Ya.
Sedangkan masalah dia (Ali Radhiyallahu 'ahu) telah menghapus
gelar Amirul Mukminin dari dirinya, maka saya akan datangkan kepada kalian apa
yang membuat kalian ridha, yaitu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada
hari perjanjanjian Hudaibiyah berdamai dengan kaum musyrikin, lalu berkata
kepada Ali : Hapuslah wahai Ali (tulisan) Allahumma Inaaka Ta'alam Ani
Rasulullah (wahai Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku adalah
Rasulullah) dan tulislah (kalimat) Hadza ma Shalaha Alaihi Muhammad bin
Abdillah (ini adalah perjanjian yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdillah)[7]
Demi Allah Subhanahu wa Ta'ala sungguh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
lebih baik dari Ali dan beliau menghapus (gelar kerasulannya) dari dirinya dan
tidaklah penghapusan tersebut berarti penghapusan kenabian dari dirinya. Apakah
aku telah menjawbnya ?
Mereka berkata : Ya
Kemudian kembalilah dari mereka dua ribu orang dan
sisanya memberontak dan berperang diatas kesesatan mereka lalu mereka diperangi
oleh kaum Muhajirin dan Anshar.[8]
Disini Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu
berargumentasi (berhujjah) dengan manhaj sahabat dalam menghadapi kaum
Khawarij, karena Al-Qur'an turun kepada mereka, maka mereka adalah orang yang
paling mengetahui tafsirnya dan mereka menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam sehingga menjadi orang yang paling mengikuti jalan beliau. Jawaban
Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu terhadap syubhat-syubhat Khawarij dan
penjelasan beliau sisi kebenaran dari kebathilan adalah dalil ilmiyah atas do'a
yang telah saya kemukakan dari pengambilan hujjah (argumentasi) dengan manhaj
sahabat.
[4]. Al-Uzaa'iy Rahimahullah berkata : Sabarkan
(tetapkan) dirimu diatas Sunnah, berhentilah dimana kaum (para sahabat)
berhenti, katakanlah apa yang mereka katakan dan diamlah terhadap yang telah
mereka diamkan serta berjalanlah di jala As-Salaf Ash-Shalih, karena mereka
mencukupkan kamu apa yang telah mencukupkan mereka. [9]
No comments:
Post a Comment